Thursday 23 May 2019

Lelaki tua di ujung pembatas jalan

Bajunya lusuh, usianya sudah sepuh, tubuhnya yang ringkih memapah langkah tertatih. Diujung pembatas jalan sana, dia menjajakan dagangannya yang mungkin merupakan hasil panen kebunnya, pisang.

Bayangkan, siapa malam2 begini yang mungkin membeli pisang? Tapi kakek ini tetap keukeuh berdagang diujung pembatas, yang mungkin sebenarnya tidak diperuntukan untuk berjualan.

Siapa yang engga akan berempati melihat lelaki tua yang harusnya di rumah menikmati waktunya, menikmati masa tuanya dengan tenang, masih harus berjuang untuk mendapatkan pundi pundi rupiah di malam romadhon ketika orang lain mungkin mempersiapkan taraweh.

Dia ada diantara muda mudi yang berjalan2 malam, pedagang2 muda, sedang dia... ah, mungkin orang pun tak akan terlalu menghiraukannya.

Dari semenjak aku melihat lapak kakek itu,  yang hanya beralaskan karung goni dengan pisang2 di atasnya, aku terus memperhatikannya. Sampai akhirnya aku memberanikan diri menyapanya setelah memarkir motor tepat disaat kakek itu berjalan.

"Pak, icalan cau?" Tanyaku.
"Muhun, tapi di palih ditu. Ieu bade ngajajapkeun heula cau ka palih dinya."
"Oh, muhun."

Dia memapah langkah sedikit demi sedikit. Kaki kainya yang kurus, keriput, dan ringkih itu hampir saja terjatuh.

Setelah beberapa saat ia kembali lagi, aku mengikutinya dari belakang. Kamu tahu, apa yang aku pikirkan? Jika dia seorang ayah, kemana anak2nya? Tak mampukah anak2nya mencukupi kebutuhan kakek ini sehingga beliau harus mencari nafkah sendiri?

Aku melihat punggungnya dan membatin. seorang ayah dan ibu mampu menghidupi 10 anaknya. Namun 10 anak belum tentu mampu menghidupi orang tuanya yang hanya berjumlah 2, ayah dan ibu. Buktinya keadaan yang ada di hadapanku sekarang.

Aku membayangkan, bagaimana jika dia ayahku? Bandan yang sudah tua dan lelah itu harus bekerja tanpa letih di malam hari. Ah, aku takkan tega.

Tapi bagaimana jika ternyata anak2 dari kakek ini memiliki keterbatasn dan kekurangan ekonomi sedang mereka juga sudah berkeluarga. Aku kembali berpikir. Ya Allah, hanya Allah yang Maha Mengetahui apa2 yang tidak aku ketahui. Semoga si kakek sehat selalu dan dagangannya laku. Itu saja harpanku.

Setelah membeli pisangnya tanpa menawar, aku berbalik dan pergi. Di jalan, pikiranku jadi tertuju pada orang tuaku. Tak bisa dielakkan, suatu hri orang tuaku pasti menua. Suatu hari mungkin mereka sudah tak mampu lagi bekerja.

Aku adalah anak dengan pendidikan paling tinggi di rumah. Orang tuaku, menyekolahkanku sampai sarjana. Dan itu sangat berharga buatku. Sedang kakak hanya puas menyandang ijazah SMA.

Aku berharap Allah mencukupkan rezekiku, sehingga aku mampu mencukupi kebutuhan orang tuaku. Sehingga aku mampu bertanggung jawab atas kebutuhan hidup mereka. Aku berharap Allah, memampukan aku dan memberikan aku kesabaran dalam merawat mereka kelak. Aamiin...

Maja, 24 Mei 2019.

No comments:

Post a Comment