Saturday 30 November 2013

Terompet Usang




11 Januari 2010

Duhai bintang gemerlap
Yang Penciptanya tiada pernah terlelap
Aku ingin menitipkan sehelai mimpi pagi
Wahai Sang Pencipta
Asa itu seperti juntai pengikat yang menghubungkan antara aku dan kasih-Mu
Antara mimpiku dan surga-Mu
Ya Tuhanku, bimbing aku menuju apa yang mampu aku capai.

Aku menutup buku. Goresan tinta pada buku ini juga menutup penghujung hari yang melelahkan. Buku yang sekarang aku simpan ini, menjadi pendengar setiaku. Terlebih saat penat mulai merayap, membuatku tak tahan akan kehidupan konstan yang aku jalani hari demi harinya, minggu demi minggu, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahunnya. Hidup terasa berjalan di tempat yang sama.
Kini hari sudah menjelang malam. Kembali pada rutinitas malamku. Menunggu. Selepas isya, adik-adikku pulang dari surau tempat mereka mengaji. Mereka selalu ingin ditunggui di teras rumah. Tak berani. Itulah alasan mereka. Apalagi saat melewati kebun pisang yang jaraknya 10 meter dari rumah. Kesunyian menghadang dibalik daun-daun pisang. Membuat merinding adik-adikku yang baru pulang mengaji dari surau.
Aku termangu, menunggu adik-adikku yang belum tampak batang hidungnya. Mereka akan berlari terbirit saat melewati kebun pisang milik Bapak Haji Sulaeman yang gelap gulita sambil berteriak memanggil namaku saking takutnya.
Konon, di kebun itu sering ada suara-suara aneh yang membuat bulu kuduk merinding. Tapi, untung saja aku tidak pernah mendengar suara-suara itu. Bahkan mungkin saja semua cerita seram itu hanya karangan orang penakut saja. sama seperti  adik-adikku yang mengarang pernah mendengar suara-suara aneh itu saat melewati kebun pisang Haji Sulaeman.
Langit sudah benar-benar gelap. Pukul tujuh lewat. Adzan isya pun sudah menggema dari beberapa menit yang lalu. Anak-anak harusnya sudah keluar dari masjid dan pulang. Sama seperti adik-adikku yang seharusnya sekarang sudah lari terbirit sambil memanggil namaku seperti biasanya. Namun, kali ini berbeda. Mereka belum juga terlihat. Dan ini membuatku kesal. Karena ibu akhirnya menyuruhku segera  menyusul mereka ke surau.
“Cepat Ain, jemput mereka ke surau! Mungkin mereka tak berani pulang atau ada sesuatu yang terjadi. Ibu khawatir.” Titah ibu.
“Mungkin mereka sebentar lagi datang, Bu. Sedang di jalan. Kita tunggu saja sebentar lagi.” Kilahku yang malas menyusul bocah-bocah nakal itu.
“Ini tidak seperti biasanya. Cepat susul mereka!” bentak ibu yang mulai tak sabar. Padahal aku sedang tidak ingin bepergian malam ini.
Ibu menghampiriku, berkacak pinggang sambil memelototiku. Ibu memang tidak marah-marah. Namun membuat aku takut dan tak berani membantah.
Akhirnya aku beranjak, menuruti apa yang ibu perintahkan. Aku segera mengambil kerudung dan senter. Barangkali di jalan terlalu gelap, apalagi di kebun pisang itu. perlahan, aku susuri jalanan. Sambil berharap mereka berdua sedang menuju kemari, sehingga aku tak perlu bersusah payah mencari mereka sampai ke surau. Namun, mereka belum juga terlihat.
Akhirnya aku sampai di surau. Surau sudah sepi. Tak ada anak-anak maupun orang dewasa. Yang tersisa hanya lampu halaman masjid yang sengaja dinyalakan penjaga surau.
“Kak Aina!” pekik seseorang dari kejauhan. Aku menoleh.
“Kakak mencari Fauzan dan Fauzi?” tanya Hasan yang tergopoh sambil mendekat.
“Iya. Kau melihat mereka?”
“Iya. Mereka sedang berkelahi di depan Gang rumah Badru.” Ucap Hasan, anak seumuran adik kembarku.
Aku terkesiap. Segera berlari ditemani Hasan yang berlari di belakangku.
“Masyaallah!” pekikku.
Aku melotot. Kedua adikku benar-benar sedang berkelahi. Aku menarik tangan si kembar. Mencoba menghentikan perkelahian. Keempat anak nakal ini, Kasim, Husni, Fauzan dan Fauzi saling tinju. Tidak tahu sedang memperebutkan apa.
“Dasar nakal! Kenapa berkelahi? Berhenti! Berhenti!” omelku setengah berteriak.
Keempatnya terdiam. Mereka sudah berhenti berkelahi. Namun wajah mereka masih merah padam. Menahan marah sambil melotot ke arah orang yang dianggap lawan.
“Dia yang duluan!” teriak fauzi.
“Tidak! kau yang cari masalah!” bantah Husni.
“Enak saja! kau menuduh kami!” sanggah Fauzan.
“Fauzi memang mencuri! Buktinya ada robot mainanku di saku celananya!” tandas Kasim.
“Kau....”
“Sudah!” potongku cepat. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku mencoba menyelesaikan masalah.
“Dia mencuri mainanku, Kak!” ucap Kasim.
“Tidak! aku tidak mencuri!” sanggah Fauzi.
“Bohong! Buktinya ada di sakumu!” tambah Husni.
“Benar kau mencuri, Fauzi?” aku berkacak pinggang. Geram melihat pertengkaran ini.
“Tidak Kak!”
“Benar!” tuduh Husni.
“Tidak!” bantah Fauzi lagi.
“Aku melihatnya! Fauzi memasukkan mainan Kasim ke saku celananya!” tambah Husni lagi.
Fauzi terdiam sejenak. Wajahnya memerah, tangannya mengepal. Ia kemudian mengambil batu  lalu melemparkannya ke wajah Kasim. Lalu berlari.
“Fauzi!!!” bentakku.
***
Malam itu menjadi malam terpanjang. Fauzi disidang. Ia benar-benar telah melakukan kesalahan fatal. Ia memang mencuri mainan kasim. Ia dan saudaranya juga bolos mengaji, malah ikut bermain di rumah Kasim. Dan parahnya, orang tua Kasim datang ke rumah meminta ganti rugi karena kening Kasim berdarah akibat batu yang dilempar Fauzi.
Tentu ayah dan ibu tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa membela anak bungsunya. Karena memang dia benar-benar bersalah. Ayah akhirnya mengganti rugi. Memberikan uang hasil bekerjanya hari ini untuk berobat Kasim ke dokter. Dan lenyaplah sudah uang yang seharusnya digunakan untuk membayar uang praktik sekolahku. Aku bahkan ikut kecepretan dimarahi ibu.
“Kalau saja kamu cepat menjemput mereka ke surau, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi.” Omel ibu padaku.
Lalu, apa yang dikatakan Fauzi dengan santainya?  “Aku geram melihat Kasim terus-terusan memamerkan mainannya. Sombong karena punya mainan bagus. Sebal melihat tingkahnya yang seperti meremehkanku.” Ucap Fauzi tanpa rasa bersalah.
Hanya karena hal itu ia melakukan hal ini? dan inilah yang terkadang membuat aku benci punya adik. Mereka pembawa masalah. Dua adik kembar nakal yang melengkapi penderitaanku. Walau aku tahu bahwa kedua adikku pun sebenarnya menderita.
Mereka berdua harus gigit jari saat melihat teman-teman mereka membeli mainan yang bagus, makanan enak, baju bagus, dan kendaraan yang bagus milik orang lain. Ibuku hanya seorang pedagang bubur, dan ayahku bekerja serabutan. Kadang menjadi kuli, kadang jadi tukang bersih-bersih, kadang malah nganggur. Suatu hal yang luar biasa bagi orang tuaku sampai bisa menyekolahkanku sampai SMA dengan penghasilan pas-pasan.
Tapi, aku terkadang tidak sabar. Marah dengan keadaan ini. Iri pada yang lain. aku kadang merasa tidak PD dengan keadaanku sekarang. keadaan ekonomi keluarga yang mencekik. Kedua adikku yang nakal yang menjadi tanggung jawabku selama ibu dan ayah bekerja. Menjadi kakak itu sulit. Dan menjadi orang miskin pun lebih sulit lagi.
Harusnya remaja sepertiku mengurusi urusan cinta. Kasmaran seperti yang lain. Tapi tidak. Aku tidak punya waktu untuk mengurusi semua itu. Pekerjaanku sudah cukup menyita waktu. Beres-beres, mengurusi adik yang baru kelas dua SD yang kadang masih merengek minta jajan. Kadang, aku pun harus cari uang jajan sendiri dengan menjual aksesoris buatan tangan.
Dan cita-cita tertinggiku adalah menjadi orang kaya. Memiliki banyak uang agar tidak ada lagi orang yang menghinaku, menghina keluargaku, menyepelekanku. Namun harapan itu perlahan luntur. Aku mulai mengubur jauh mimpi itu. Semua mimpi itu terasa terlalu jauh untuk direngkuh.
Tahun lalu, saat terompet tahun baru dibunyikan tengah malam. Aku berharap kehidupanku berangsur berubah. Aku berharap orang tuaku mendapatkan pekerjaan yang lanyak. Aku berharap tidak begini-begini saja. aku berharap ada setitik perubahan yang membuat aku lebih bisa berbangga diri.
Namun, beberapa hari bahkan beberapa minggu dari itu, hidup kami tetap seperti ini. Ayah masih seorang buruh dengan gaji rendah. Ibu juga tetap menjadi tukang bubur dengan penghasilan tidak tetap. Jadi, apa lagi yang bisa aku harapkan pada tahun ini? Tak ada. Semua harapanku lenyap. Aku hanya tinggal menunggu nasib saja.
***
“Ain.” Sapa Eziro. Kali ini motornya berwarna merah tua. Motor ninja yang kabarnya hadiah ulang tahun dari ayahnya.
“Kau mau ikut?” ajaknya.
Aku tersenyum sembari menggeleng. “Tidak, Zi. Terima kasih.”
“Padahal ini sudah siang loh! Nanti kau terlambat!” ucapnya lagi.
“Tidak. terima kasih.” Aku berlalu dengan senyum yang dipaksakan.
Helm hitamnya kembali ditutup, kemudian memencet klakson, dan berlalu dengan cepatnya.
Aku berhenti sejenak. Menghela nafas dan kembali mengambil langkah.
Eziro. Laki-laki yang dulu sempat aku suka. Dia laki-laki terbaik yang pernah aku kenal. Dia juga tidak sombong. Dia sangat ramah. Dan itulah hal mendasar yang membuat aku menyukainya.
Kami pernah sekelas. Kami juga pernah sangat dekat. Sebelum aku bisa dekat dengannya, aku pernah menguntit dia kemana pun. Menghadiri perlombaan basketnya, mengikuti latihan sepak bolanya bersama kedua adikku, dan aku juga sempat memberikan bubur buatan ibu untuknya yang akhirnya ditertawakan teman-temannya. Tapi, dia tetap memakannya. Dia malah menghabiskannya dan berkata ‘Enak. Terima kasih.’ Sambil tersenyum.
Sejak saat itu kami dekat. Namun, bukan berarti kami pacaran. Hanya teman dekat, itu saja. dan itu sudah cukup.
Namun, semenjak banyak teman-temannya yang mendiskriminasiku karena tidak menyukaiku, maka aku mundur. Aku berusaha menjauh dari Eziro. Dan walau sudah menjauh, tetap saja siswi yang menyukai Eziro mendiskriminasiku.
Padahal, apa salahnya kalau aku jatuh cinta? Cinta itu kan tidak terpaku pada apakah dia miskin atau kaya. Cinta, ya cinta saja. Memang kenapa? Ini zaman modern, kan? Tapi, ternyata tidak seperti itu. Walau pada kenyataannya cintaku ini Luar biasa untuknya, tapi diriku tidak cukup ‘luar biasa’ untuk bersamanya. Dan banyak orang menganggapku tidak pantas.
***
27 Desember 2010
“Ain, kemari sebentar!” panggil Ayah. Aku terhunyung dari kamar menuju ruang tamu.
Di ruang tamu sudah berserakan plastik warna-warni, kertas karton besar, gunting dan juga lem. Fauzan dan fauzi terlihat sangat antusias. Mereka sudah terlihat sibuk sendiri dengan gunting dan plastik.
“Ayah mau buat apa?” tanyaku polos.
“Sebentar lagi tahun baru, kan? Yuk kita buat terompet murah untuk dijual. Lumayan kan buat tahun baru nanti?”
Aku mengangguk lalu terduduk di sisi lain dan terdiam cukup lama. Namun aku buru-buru sadar. Aku tahu bahwa aku dipanggil ke ruangan ini bukan untuk melamun. Akhirnya aku mengambil kertas dan gunting yang ada di hadapanku. Jujur, aku tidak terlalu antusias dengan ide ini.
Ayah mungkin melihat wajahku yang lesu dan tak bersemangat.
“Ain, kamu sakit?” tanya ayah.
Aku menggeleng.
“Lalu, kenapa?”
“Tidak apa-apa, Yah.”
“Jangan bohong. Ayah kenal anak-anak ayah.” Ucapnya lagi.
Aku terdiam sejenak. “Ayah, bisakah tahun ini kita lebih baik dari tahun sebelumnya?”
“Memang kenapa?” tanya ayah bingung.
“Tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, aku sering berharap bahwa tahun berikutnya kehidupan kita akan semakin meningkat. Berharap ayah punya pekerjaan tetap, Berharap ibu punya warung sendiri agar tidak usah keliling jualan bubur, berharap Fauzan dan Fauzi cepat mandiri. Tapi, selalu dan selalu harapanku tidak pernah terkabul tahun demi tahunnya.”
Kini ayah yang terdiam. Kami sama-sama terdiam. Fauzan dan Fauzi yang dari tadi berisik pun akhirnya terdiam. Mereka mendengar nama mereka disebut. Dan mereka sadar kami dalam pembicaraan yang serius.
“Aku berharap kita punya rumah sendiri, tidak ngontrak. Berharap punya motor, berharap punya uang banyak biar kalau bayaran sekolah tidak perlu pusing lagi. Berharap seperti sisiwi lain yang bisa membawa ponsel bagus ke sekolah, sepatunya bagus, tasnya bagus. Aku ingin seperti mereka, Yah.” Aku terisak.
Aku tahu ini ucapan bodoh yang keluar dari seorang anak yang tidak punya pikiran. Aku tahu, aku pasti melukai hati ayah atau ibu yang mungkin mendengar ucapanku dari bilik dapur sana. Aku pun sudah siap jika dimarahi.
“Sabar ya, Nak.” Ayah kembali terdiam lalu mengambil nafas. “Tidak ada orang tua yang ingin melihat anaknya kesusahan. Tidak ada juga orang tua yang ingin melihat anaknya menderita. Dan itulah mengapa sampai sekarang ayah terus bekerja untuk kalian, untuk membahagiakan kalian.”
Ayah terdiam lagi.
“Sekarang kita memang tidak punya. Kita miskin. Tapi bukan berarti kita tidak bisa bahagia seperti orang lain.” Tambah ayah.
“Dan ayah sangat bahagia memiliki kamu dan adik-adikmu juga ibumu yang selalu sabar. Dan kalianlah yang membuat ayah semangat untuk bekerja.” Ayah terdiam sejenak. Lalu melanjutkan kata-katanya.
 “Sebagai anak sulung dan anak yang sudah dewasa, kamu pasti mengerti maksud ayah. Ayah mengerti perasaanmu. Kau mungkin bosan dan jenuh dengan keadaan kita.”
Aku tertunduk mendengarkan kata-kata ayah. Tetesan air mata mengalir deras di pipi.
“Tapi, kamu tidak boleh putus asa. Harapan yang kita inginkan bukan berarti tidak mungkin terwujud. Hanya saja belum tercapai. Karena sesuatu yang kita atau orang lain anggap tidak mungkin terjadi, bukan berarti tidak akan terjadi. Itulah mengapa ayah menyekolahkanmu dengan harapan kau akan memiliki kehidupan yang lebih baik dari ayah dan ibu.”
Aku semakin terisak. Ibu mendekat dan merangkulku.
***
Pagi ini, ayah berangkat menuju pasar. Mencoba menjajakan terompet buatan kami semalam. Dia begitu bersemangat dan berharap semua terompet kami terjual. Ayah tidak pernah pesimis, sekalipun upah kerja yang didapatnya kecil. ia memiliki tekad baja, dan aku iri. Aku pun ingin memiliki tekadnya.
“Ain, Ain!!!!” teriak Salma.
Aku menoleh malas.
“Kau sudah lihat apan pengumuman?” Tanya Salma.
Aku menggeleng. Mencoba bersikap tenang menghadapi Salma yang tidak bias diam.
“Kau dapat beasiswa Ain, beasiswa!!” pekiknya lagi. Aku terkaget. “Kau diminta ke ruang guru sekarang!”
Aku berjalan setengah berlari. Sedang dan bangga bias mendapatkan beasiswa. Aku dapat beasiswa ayah, aku dapat beasiswa, batinku.
Namun sesampainya di ruang guru, aku mendapati wajah mereka tampak sayu. Memucat. mereka memandangiku iba. Aku tak mengerti dan juga tak peduli. Yang terpenting, kabar gembira ini membuatklu bahagia. Namun yang aneh, kenapa ada Mang Janu di sana. Tengah berdiri bersopan santun dengan wajah pucat pula.
“Ain,” ucap seorang guru pelan, ketika aku menghampiri mereka.
 “Kamu disuruh pulang. Ayahmu kecelakaan.”
Aku terbelalak. Tak ada waktu untuk terkaget-kaget. Bahkan tak ada waktu untuk kembali ke kelas dan meraih tas. Aku pulang dengan tergesa tanpa peduli teriakan yang memanggil-manggil namaku.
Jasad yang tertutup kain putih terbaring di tengah-tengah manusia yang berjejal di rumah kontrakan sempit kami. Tubuh terbujur kaku yang menyemangatiku semalam. Kini dia menutup mata selamanya, setelah sebelumnya tertabrak motor ninja merah tua pagi tadi.

No comments:

Post a Comment