11 Januari 2010
Duhai
bintang gemerlap
Yang
Penciptanya tiada pernah terlelap
Aku
ingin menitipkan sehelai mimpi pagi
Wahai
Sang Pencipta
Asa
itu seperti juntai pengikat yang menghubungkan antara aku dan kasih-Mu
Antara
mimpiku dan surga-Mu
Ya
Tuhanku, bimbing aku menuju apa yang mampu aku capai.
Aku menutup
buku. Goresan tinta pada buku ini juga menutup penghujung hari yang melelahkan.
Buku yang sekarang aku simpan ini, menjadi pendengar setiaku. Terlebih saat
penat mulai merayap, membuatku tak tahan akan kehidupan konstan yang aku jalani
hari demi harinya, minggu demi minggu, bulan demi bulan, bahkan tahun demi
tahunnya. Hidup terasa berjalan di tempat yang sama.
Kini hari sudah
menjelang malam. Kembali pada rutinitas malamku. Menunggu. Selepas isya,
adik-adikku pulang dari surau tempat mereka mengaji. Mereka selalu ingin
ditunggui di teras rumah. Tak berani. Itulah alasan mereka. Apalagi saat
melewati kebun pisang yang jaraknya 10 meter dari rumah. Kesunyian menghadang
dibalik daun-daun pisang. Membuat merinding adik-adikku yang baru pulang
mengaji dari surau.
Aku termangu,
menunggu adik-adikku yang belum tampak batang hidungnya. Mereka akan berlari
terbirit saat melewati kebun pisang milik Bapak Haji Sulaeman yang gelap gulita
sambil berteriak memanggil namaku saking takutnya.
Konon, di kebun
itu sering ada suara-suara aneh yang membuat bulu kuduk merinding. Tapi, untung
saja aku tidak pernah mendengar suara-suara itu. Bahkan mungkin saja semua
cerita seram itu hanya karangan orang penakut saja. sama seperti adik-adikku yang mengarang pernah mendengar
suara-suara aneh itu saat melewati kebun pisang Haji Sulaeman.
Langit sudah benar-benar
gelap. Pukul tujuh lewat. Adzan isya pun sudah menggema dari beberapa menit
yang lalu. Anak-anak harusnya sudah keluar dari masjid dan pulang. Sama seperti
adik-adikku yang seharusnya sekarang sudah lari terbirit sambil memanggil
namaku seperti biasanya. Namun, kali ini berbeda. Mereka belum juga terlihat.
Dan ini membuatku kesal. Karena ibu akhirnya menyuruhku segera menyusul mereka ke surau.
“Cepat Ain,
jemput mereka ke surau! Mungkin mereka tak berani pulang atau ada sesuatu yang
terjadi. Ibu khawatir.” Titah ibu.
“Mungkin mereka
sebentar lagi datang, Bu. Sedang di jalan. Kita tunggu saja sebentar lagi.”
Kilahku yang malas menyusul bocah-bocah nakal itu.
“Ini tidak
seperti biasanya. Cepat susul mereka!” bentak ibu yang mulai tak sabar. Padahal
aku sedang tidak ingin bepergian malam ini.
Ibu menghampiriku,
berkacak pinggang sambil memelototiku. Ibu memang tidak marah-marah. Namun
membuat aku takut dan tak berani membantah.
Akhirnya aku
beranjak, menuruti apa yang ibu perintahkan. Aku segera mengambil kerudung dan
senter. Barangkali di jalan terlalu gelap, apalagi di kebun pisang itu.
perlahan, aku susuri jalanan. Sambil berharap mereka berdua sedang menuju
kemari, sehingga aku tak perlu bersusah payah mencari mereka sampai ke surau.
Namun, mereka belum juga terlihat.
Akhirnya aku
sampai di surau. Surau sudah sepi. Tak ada anak-anak maupun orang dewasa. Yang
tersisa hanya lampu halaman masjid yang sengaja dinyalakan penjaga surau.
“Kak Aina!”
pekik seseorang dari kejauhan. Aku menoleh.
“Kakak mencari
Fauzan dan Fauzi?” tanya Hasan yang tergopoh sambil mendekat.
“Iya. Kau
melihat mereka?”
“Iya. Mereka
sedang berkelahi di depan Gang rumah Badru.” Ucap Hasan, anak seumuran adik
kembarku.
Aku terkesiap.
Segera berlari ditemani Hasan yang berlari di belakangku.
“Masyaallah!”
pekikku.
Aku melotot. Kedua
adikku benar-benar sedang berkelahi. Aku menarik tangan si kembar. Mencoba
menghentikan perkelahian. Keempat anak nakal ini, Kasim, Husni, Fauzan dan
Fauzi saling tinju. Tidak tahu sedang memperebutkan apa.
“Dasar nakal!
Kenapa berkelahi? Berhenti! Berhenti!” omelku setengah berteriak.
Keempatnya
terdiam. Mereka sudah berhenti berkelahi. Namun wajah mereka masih merah padam.
Menahan marah sambil melotot ke arah orang yang dianggap lawan.
“Dia yang
duluan!” teriak fauzi.
“Tidak! kau yang
cari masalah!” bantah Husni.
“Enak saja! kau
menuduh kami!” sanggah Fauzan.
“Fauzi memang
mencuri! Buktinya ada robot mainanku di saku celananya!” tandas Kasim.
“Kau....”
“Sudah!”
potongku cepat. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku mencoba menyelesaikan
masalah.
“Dia mencuri
mainanku, Kak!” ucap Kasim.
“Tidak! aku
tidak mencuri!” sanggah Fauzi.
“Bohong!
Buktinya ada di sakumu!” tambah Husni.
“Benar kau
mencuri, Fauzi?” aku berkacak pinggang. Geram melihat pertengkaran ini.
“Tidak Kak!”
“Benar!” tuduh
Husni.
“Tidak!” bantah
Fauzi lagi.
“Aku melihatnya!
Fauzi memasukkan mainan Kasim ke saku celananya!” tambah Husni lagi.
Fauzi terdiam
sejenak. Wajahnya memerah, tangannya mengepal. Ia kemudian mengambil batu lalu melemparkannya ke wajah Kasim. Lalu
berlari.
“Fauzi!!!” bentakku.
***
Malam itu
menjadi malam terpanjang. Fauzi disidang. Ia benar-benar telah melakukan
kesalahan fatal. Ia memang mencuri mainan kasim. Ia dan saudaranya juga bolos
mengaji, malah ikut bermain di rumah Kasim. Dan parahnya, orang tua Kasim
datang ke rumah meminta ganti rugi karena kening Kasim berdarah akibat batu
yang dilempar Fauzi.
Tentu ayah dan
ibu tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa membela anak bungsunya. Karena memang
dia benar-benar bersalah. Ayah akhirnya mengganti rugi. Memberikan uang hasil
bekerjanya hari ini untuk berobat Kasim ke dokter. Dan lenyaplah sudah uang
yang seharusnya digunakan untuk membayar uang praktik sekolahku. Aku bahkan
ikut kecepretan dimarahi ibu.
“Kalau saja kamu
cepat menjemput mereka ke surau, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi.” Omel
ibu padaku.
Lalu, apa yang
dikatakan Fauzi dengan santainya? “Aku
geram melihat Kasim terus-terusan memamerkan mainannya. Sombong karena punya
mainan bagus. Sebal melihat tingkahnya yang seperti meremehkanku.” Ucap Fauzi
tanpa rasa bersalah.
Hanya karena hal
itu ia melakukan hal ini? dan inilah yang terkadang membuat aku benci punya adik.
Mereka pembawa masalah. Dua adik kembar nakal yang melengkapi penderitaanku. Walau
aku tahu bahwa kedua adikku pun sebenarnya menderita.
Mereka berdua
harus gigit jari saat melihat teman-teman mereka membeli mainan yang bagus,
makanan enak, baju bagus, dan kendaraan yang bagus milik orang lain. Ibuku
hanya seorang pedagang bubur, dan ayahku bekerja serabutan. Kadang menjadi
kuli, kadang jadi tukang bersih-bersih, kadang malah nganggur. Suatu hal yang
luar biasa bagi orang tuaku sampai bisa menyekolahkanku sampai SMA dengan
penghasilan pas-pasan.
Tapi, aku
terkadang tidak sabar. Marah dengan keadaan ini. Iri pada yang lain. aku kadang
merasa tidak PD dengan keadaanku sekarang. keadaan ekonomi keluarga yang
mencekik. Kedua adikku yang nakal yang menjadi tanggung jawabku selama ibu dan
ayah bekerja. Menjadi kakak itu sulit. Dan menjadi orang miskin pun lebih sulit
lagi.
Harusnya remaja
sepertiku mengurusi urusan cinta. Kasmaran seperti yang lain. Tapi tidak. Aku
tidak punya waktu untuk mengurusi semua itu. Pekerjaanku sudah cukup menyita
waktu. Beres-beres, mengurusi adik yang baru kelas dua SD yang kadang masih
merengek minta jajan. Kadang, aku pun harus cari uang jajan sendiri dengan
menjual aksesoris buatan tangan.
Dan cita-cita
tertinggiku adalah menjadi orang kaya. Memiliki banyak uang agar tidak ada lagi
orang yang menghinaku, menghina keluargaku, menyepelekanku. Namun harapan itu
perlahan luntur. Aku mulai mengubur jauh mimpi itu. Semua mimpi itu terasa
terlalu jauh untuk direngkuh.
Tahun lalu, saat
terompet tahun baru dibunyikan tengah malam. Aku berharap kehidupanku berangsur
berubah. Aku berharap orang tuaku mendapatkan pekerjaan yang lanyak. Aku
berharap tidak begini-begini saja. aku berharap ada setitik perubahan yang
membuat aku lebih bisa berbangga diri.
Namun, beberapa
hari bahkan beberapa minggu dari itu, hidup kami tetap seperti ini. Ayah masih
seorang buruh dengan gaji rendah. Ibu juga tetap menjadi tukang bubur dengan
penghasilan tidak tetap. Jadi, apa lagi yang bisa aku harapkan pada tahun ini?
Tak ada. Semua harapanku lenyap. Aku hanya tinggal menunggu nasib saja.
***
“Ain.” Sapa
Eziro. Kali ini motornya berwarna merah tua. Motor ninja yang kabarnya hadiah
ulang tahun dari ayahnya.
“Kau mau ikut?”
ajaknya.
Aku tersenyum
sembari menggeleng. “Tidak, Zi. Terima kasih.”
“Padahal ini
sudah siang loh! Nanti kau terlambat!” ucapnya lagi.
“Tidak. terima
kasih.” Aku berlalu dengan senyum yang dipaksakan.
Helm hitamnya kembali
ditutup, kemudian memencet klakson, dan berlalu dengan cepatnya.
Aku berhenti
sejenak. Menghela nafas dan kembali mengambil langkah.
Eziro. Laki-laki
yang dulu sempat aku suka. Dia laki-laki terbaik yang pernah aku kenal. Dia
juga tidak sombong. Dia sangat ramah. Dan itulah hal mendasar yang membuat aku
menyukainya.
Kami pernah
sekelas. Kami juga pernah sangat dekat. Sebelum aku bisa dekat dengannya, aku
pernah menguntit dia kemana pun. Menghadiri perlombaan basketnya, mengikuti
latihan sepak bolanya bersama kedua adikku, dan aku juga sempat memberikan
bubur buatan ibu untuknya yang akhirnya ditertawakan teman-temannya. Tapi, dia
tetap memakannya. Dia malah menghabiskannya dan berkata ‘Enak. Terima kasih.’ Sambil tersenyum.
Sejak saat itu
kami dekat. Namun, bukan berarti kami pacaran. Hanya teman dekat, itu saja. dan
itu sudah cukup.
Namun, semenjak
banyak teman-temannya yang mendiskriminasiku karena tidak menyukaiku, maka aku
mundur. Aku berusaha menjauh dari Eziro. Dan walau sudah menjauh, tetap saja
siswi yang menyukai Eziro mendiskriminasiku.
Padahal, apa
salahnya kalau aku jatuh cinta? Cinta itu kan tidak terpaku pada apakah dia
miskin atau kaya. Cinta, ya cinta saja. Memang kenapa? Ini zaman modern, kan?
Tapi, ternyata tidak seperti itu. Walau pada kenyataannya cintaku ini Luar
biasa untuknya, tapi diriku tidak cukup ‘luar biasa’ untuk bersamanya. Dan
banyak orang menganggapku tidak pantas.
***
27 Desember 2010
“Ain, kemari
sebentar!” panggil Ayah. Aku terhunyung dari kamar menuju ruang tamu.
Di ruang tamu
sudah berserakan plastik warna-warni, kertas karton besar, gunting dan juga
lem. Fauzan dan fauzi terlihat sangat antusias. Mereka sudah terlihat sibuk
sendiri dengan gunting dan plastik.
“Ayah mau buat
apa?” tanyaku polos.
“Sebentar lagi
tahun baru, kan? Yuk kita buat terompet murah untuk dijual. Lumayan kan buat
tahun baru nanti?”
Aku mengangguk
lalu terduduk di sisi lain dan terdiam cukup lama. Namun aku buru-buru sadar. Aku
tahu bahwa aku dipanggil ke ruangan ini bukan untuk melamun. Akhirnya aku mengambil
kertas dan gunting yang ada di hadapanku. Jujur, aku tidak terlalu antusias
dengan ide ini.
Ayah mungkin
melihat wajahku yang lesu dan tak bersemangat.
“Ain, kamu
sakit?” tanya ayah.
Aku menggeleng.
“Lalu, kenapa?”
“Tidak apa-apa,
Yah.”
“Jangan bohong.
Ayah kenal anak-anak ayah.” Ucapnya lagi.
Aku terdiam
sejenak. “Ayah, bisakah tahun ini kita lebih baik dari tahun sebelumnya?”
“Memang kenapa?”
tanya ayah bingung.
“Tahun lalu dan
tahun-tahun sebelumnya, aku sering berharap bahwa tahun berikutnya kehidupan
kita akan semakin meningkat. Berharap ayah punya pekerjaan tetap, Berharap ibu
punya warung sendiri agar tidak usah keliling jualan bubur, berharap Fauzan dan
Fauzi cepat mandiri. Tapi, selalu dan selalu harapanku tidak pernah terkabul
tahun demi tahunnya.”
Kini ayah yang
terdiam. Kami sama-sama terdiam. Fauzan dan Fauzi yang dari tadi berisik pun
akhirnya terdiam. Mereka mendengar nama mereka disebut. Dan mereka sadar kami
dalam pembicaraan yang serius.
“Aku berharap
kita punya rumah sendiri, tidak ngontrak. Berharap punya motor, berharap punya
uang banyak biar kalau bayaran sekolah tidak perlu pusing lagi. Berharap
seperti sisiwi lain yang bisa membawa ponsel bagus ke sekolah, sepatunya bagus,
tasnya bagus. Aku ingin seperti mereka, Yah.” Aku terisak.
Aku tahu ini
ucapan bodoh yang keluar dari seorang anak yang tidak punya pikiran. Aku tahu,
aku pasti melukai hati ayah atau ibu yang mungkin mendengar ucapanku dari bilik
dapur sana. Aku pun sudah siap jika dimarahi.
“Sabar ya, Nak.”
Ayah kembali terdiam lalu mengambil nafas. “Tidak ada orang tua yang ingin
melihat anaknya kesusahan. Tidak ada juga orang tua yang ingin melihat anaknya
menderita. Dan itulah mengapa sampai sekarang ayah terus bekerja untuk kalian,
untuk membahagiakan kalian.”
Ayah terdiam
lagi.
“Sekarang kita
memang tidak punya. Kita miskin. Tapi bukan berarti kita tidak bisa bahagia seperti
orang lain.” Tambah ayah.
“Dan ayah sangat
bahagia memiliki kamu dan adik-adikmu juga ibumu yang selalu sabar. Dan
kalianlah yang membuat ayah semangat untuk bekerja.” Ayah terdiam sejenak. Lalu
melanjutkan kata-katanya.
“Sebagai anak sulung dan anak yang sudah
dewasa, kamu pasti mengerti maksud ayah. Ayah mengerti perasaanmu. Kau mungkin
bosan dan jenuh dengan keadaan kita.”
Aku tertunduk
mendengarkan kata-kata ayah. Tetesan air mata mengalir deras di pipi.
“Tapi, kamu
tidak boleh putus asa. Harapan yang kita inginkan bukan berarti tidak mungkin
terwujud. Hanya saja belum tercapai. Karena sesuatu yang kita atau orang lain
anggap tidak mungkin terjadi, bukan berarti tidak akan terjadi. Itulah mengapa
ayah menyekolahkanmu dengan harapan kau akan memiliki kehidupan yang lebih baik
dari ayah dan ibu.”
Aku semakin
terisak. Ibu mendekat dan merangkulku.
***
Pagi ini, ayah
berangkat menuju pasar. Mencoba menjajakan terompet buatan kami semalam. Dia
begitu bersemangat dan berharap semua terompet kami terjual. Ayah tidak pernah
pesimis, sekalipun upah kerja yang didapatnya kecil. ia memiliki tekad baja,
dan aku iri. Aku pun ingin memiliki tekadnya.
“Ain,
Ain!!!!” teriak Salma.
Aku
menoleh malas.
“Kau
sudah lihat apan pengumuman?” Tanya Salma.
Aku
menggeleng. Mencoba bersikap tenang menghadapi Salma yang tidak bias diam.
“Kau
dapat beasiswa Ain, beasiswa!!” pekiknya lagi. Aku terkaget. “Kau diminta ke ruang
guru sekarang!”
Aku
berjalan setengah berlari. Sedang dan bangga bias mendapatkan beasiswa. Aku dapat beasiswa ayah, aku dapat beasiswa,
batinku.
Namun
sesampainya di ruang guru, aku mendapati wajah mereka tampak sayu. Memucat. mereka
memandangiku iba. Aku tak mengerti dan juga tak peduli. Yang terpenting, kabar gembira
ini membuatklu bahagia. Namun yang aneh, kenapa ada Mang Janu di sana. Tengah berdiri
bersopan santun dengan wajah pucat pula.
“Ain,”
ucap seorang guru pelan, ketika aku menghampiri mereka.
“Kamu disuruh pulang. Ayahmu
kecelakaan.”
Aku terbelalak.
Tak ada waktu untuk terkaget-kaget. Bahkan
tak ada waktu untuk kembali ke kelas dan meraih tas. Aku pulang dengan tergesa
tanpa peduli teriakan yang memanggil-manggil namaku.
Jasad yang
tertutup kain putih terbaring di tengah-tengah manusia yang berjejal di rumah
kontrakan sempit kami. Tubuh terbujur kaku yang menyemangatiku semalam. Kini
dia menutup mata selamanya, setelah sebelumnya tertabrak motor ninja merah tua pagi
tadi.