Saturday 30 November 2013

Aku Lulusan Sekolah Dasar



Aku meraih beberapa oleh-oleh yang khusus aku pilih untuk nenek dan kakek di kampung. Perjalanan kali ini cukup jauh dan memakan banyak waktu. Tak apa, ini memang yang sejak dulu aku impikan, yang bahkan tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Bekerja dalam sebuah kebebasan, yang membuatku terbebas dari kebutuhan finansial.
Aku hanya seorang tamatan SD yang bahkan secara logika tidak memiliki harapan untuk sukses. Jika ada pun, aku harus bisa bersaing dengan jutaan bahkan puluhan juta orang lainnya yang bergelar sarjana atu setidaknya lulusan sekolah lebih tinggi dari aku. Tapi, aku tak mau menjadi orang pesimistik yang hanya tahu menerima nasib. Aku memang menerimanya, sungguh, keadaan yang menempatkan aku sebagai seorang anak dari korban perceraian yang mengharuskan aku untuk tidak tinggal bersama ayah atau pun ibu kandungku sendiri. melainkan dengan seorang nenek yang sudah tua dan miskin. Miris, inilah kehidupanku dulu sebenarnya.
Siapa aku? yang penuh mimpi meraih banyak kesuksesan dengan hanya berlatar belakang lulusan Sekolah Dasar. Seorang tukang arit alias tukang nyari rumput yang diupah tidak seberapa. Tapi aku cukup percaya diri, aku yakin Tuhan punya jalan sendiri untuk meningkatkan taraf kehidupan hambanya, termasuk aku.
Untunglah aku tidak terlalu bodoh, aku tidak terlalu miskin agama walau tidak sekolah. Nenek ‘menyekolahkan’ aku disebuah pesantren di daerahku. Dan aku cukup mampu untuk cepat menyerap ilmu yang diajarkan di sana.
Sampai suatu hari, ada seorang tamu yang datang ke rumah kiai. Tamu itu sedang mencari seorang pembantu rumah tangga. Dan aku menawarkan diriku dengan percaya diri. Tak apa, aku memang laki-laki, dan apa salahnya bagi seorang laki-laki untuk mengerjakan pekerjaan rumah? Sedih memang, gengsi. Tapi, demi mendapatkan uang yang lebih banyak dari pada mencari rumput, apa boleh buat. Mungkin inilah jalan pertamanya.
Sumpah demi Tuhan, aku benar-benar ingin membahagiakan nenek dan kakekku yang selama ini menjadi orang tua bagiku. Aku ingin punya banyak uang agar bisa memenuhi segala kebutuhan dan keinginan mereka. Dan sungguh, aku sangat takut. Takut sekali jika usahaku terlalu memakan banyak waktu. Jika aku terlalu lama berleha-leha dengan waktu, aku tidak akan sempat melihat nenek dan kakek tersenyum. Logikanya, aku masih muda dan umurku masih panjang. Tapi, nenek dan kakek belum tentu. Bagaimana kalau mereka tidak bisa menunggu lebih lama untuk kesuksesanku? Bagaimana jika aku gagal membahagiakan mereka? Oh Tuhan, sumpah aku ingin melihat mereka bahagia. Aku ingin berbakti pada orang yang sudah membesarkan dan mendidikku. Dan inilah yang menjadi motivasi terbesarku.
Lama kelamaan aku jenuh dengan pekerjaan itu. Gengsi, malu kalau dilihat orang. Walau pekerjaan itu halal, tapi aku ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, ingin sekali.
Sampai akhirnya aku berhenti bekerja dan memutuskan mencari pekerjaan lain. Berbagai macam pekerjaan aku lakukan, sampai berbisnis dengan beberapa teman. Tapi akhirnya nihil, aku gagal. Belasan bahkan puluhan kali mengalami kegagalan.
Akhirnya, ada satu pekerjaan yang kemudian aku lakukan. Menjadi guru madrasah. Dengan ilmu agama yang aku miliki, aku cukup yakin dan mampu mengajar di madrasah. Hanya saja, gaji sebagai honorer itu terlalu horor bagiku. Standar honorer yang digaji seratus ribu per bulan. Dan tentu saja gaji itu tidak bisa mencukupi kebutuhan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pada saat itu, aku sudah tidak tinggal bersama nenek. Belajar mandiri. Di sanalah, di kamar kecil yang aku tinggali, tersimpan saksi nyata bahwa pada saat itu aku benar-benar seorang pemimpi yang nyata. Dan di dalam sana, di dinding-dinding kamar kecil itu, aku selalu menuliskan segala mimpi dan harapanku.
Aku menulis banyak hal seperti, aku akan beli motor, penghasilanku bertambah, aku akan sukses, aku bisa beli ponsel bagus, dan lain-lain. Sebenarnya, coretan-coretan itu hanya sebagai diary dan sebagai target yang harus bisa aku capai. Sehingga ketika aku melihat tulisan-tulisan itu, aku menjadi lebih semangat untuk bisa meraihnya. Walau itu mustahil. Walau banyak orang yang mencemooh semua mimpi-mimpi itu. Tapi aku tetap yakin, aku bisa.
Tuhan sudah menciptakan setiap manusia dengan kemampuan yang sama, otak yang sama. Hanya daya tangkap dan motivasi saja yang membuat kemampuan setiap orangnya terlihat berbeda. Dan aku yakin, walau aku hanya lulusan SD, aku bisa meraih sukses. Mungkin inilah awal jalan menuju kesuksesan itu yang penuh dengan kesulitan.
Lama kelamaan aku merasa frustasi, stress, bingung harus bagaimana. Semua bidang pekerjaan yang mampu aku lakukan sudah aku lakoni. Dan tidak ada satu pun dari pekerjaan itu yang mampu memberikan aku kebebasan finansial yang cukup nyata. Aku sudah bosan bermimpi dan aku sudah tidak sabar melihat mimpi-mimpiku berubah menjadi nyata.
Sampai suatu hari ada seorang teman membawa sebuah buku motivasi, dia meminjamkan aku buku itu dan menyuruhku untuk membacanya. Dan aku pun mengikuti saran sahabatku.
Setelah aku selesai membaca buku itu, aku sadar, apa sebenarnya yang membuat aku gagal meraih kesuksesan selama ini. Restu. Aku tidak meminta restu dari bidadari yang doanya senantiasa selalu didengar Allah, yang doanya akan sangat manjur bila dia ucapkan. Ibu kandungku.
Aku lupa padanya, terlanjur lupa karena tidak pernah bertemu. Dan bagaimana aku akan meminta restu pada orang yang bahkan tidak aku kenali? Yang harusnya bisa aku cintai dan mencintaiku sepenuh hati. Aku bingung, terlalu bingung untuk bicara di hadapannya. Mungkin karena di dalam sini, jauh di hati ini, ada setitik benci yang membuat aku enggan. Tapi, aku kembali sadar. Aku tak akan pernah bisa hidup tanpa sentuhan tangannya, tanpa pelukannya ketika aku lahir ke dunia. Dan kebaikannya sungguh lebih dari cukup dengan melahirkan aku ke dunia ini dengan selamat.
Akhirnya aku menguatkan tekad. Aku mulai mencari alamatnya, demi memenuhi tuntutanku untuk meminta ridho dan restu dari dia. Sang bidadari yang Ridho Tuhan itu berada pada ridhonya. Dan aku berhasil menemukan alamatnya. Langkah selanjutnya yang harus aku lakukan adalah menemuinya.
Di depan rumah itu, aku berdiri, mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Seseorang keluar, menatap asing. Ya, dua orang asing yang bertemu, yang sebenarnya memiliki keterikatan yang kuat. Aku dan ibu.
Aku dipersilahkan duduk. Disitulah aku mulai bingung harus bicara apa. Apalagi tanggapan ibu sungguh jauh di luar perkiraan, dia cukup sinis, menanggapi aku dengan kata-kata seadanya. Sampai akhirnya, aku mulai dengan tujuan utamaku. Meminta restunya.
“Ibu, aku minta maaf bila aku memiliki salah, dan aku.. aku.. mohon ridhomu Bu. Memohon restumu untuk segala usaha yang aku lakukan.”
Disitulah ia mulai meneteskan air mata. Ia mengiba. Kami bertangisan dalam haru yang juga tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dan persoalanku selesai. Segala tetesan air mata yang jatuh di mata ibu menjadi restu yang mendampingiku. Dan tetesan air mata itu juga menghapuskan segala kecewa yang tersimpan di hati, segala amarah dan benci. Air mata itu mengisyaratkan padaku sebuah permintaan maaf sekaligus sebuah pengampunan maaf.
Berawal dari sana, Tuhan membukakan segala pintu rezekinya untukku. Tuhan benar-benar meridhoi jalanku. Dia melapangkan rezeki dan memudahkan setiap jalan yang aku lewati.
Dan siapa sangka? Ternyata kehidupanku yang begitu berliku dan penuh dengan  kekecewaan, bisa menjadi sumber inspirasi bagi orang lain. Memberikan motivasi pada banyak orang, terus belajar mengenai hakikat hidup dan memahaminya. Dan beginilah Tuhan mengangkat derajatku sekarang. aku menjadi motivator muda di usiaku yang ke 20 tahun. Aku juga memiliki beberapa perusahaan kecil yang lumayan. Salah satunya adalah perusahaan es krim. Penghasilanku lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan. Dan alhamdulillah, aku berhasil membawa nenek dan kakek ke tanah suci. Ingat! Aku hanya lulusan SD.

4 April 2013
E ZAZI

No comments:

Post a Comment