Aku meraih
beberapa oleh-oleh yang khusus aku pilih untuk nenek dan kakek di kampung.
Perjalanan kali ini cukup jauh dan memakan banyak waktu. Tak apa, ini memang
yang sejak dulu aku impikan, yang bahkan tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Bekerja dalam sebuah kebebasan, yang membuatku terbebas dari kebutuhan
finansial.
Aku hanya
seorang tamatan SD yang bahkan secara logika tidak memiliki harapan untuk
sukses. Jika ada pun, aku harus bisa bersaing dengan jutaan bahkan puluhan juta
orang lainnya yang bergelar sarjana atu setidaknya lulusan sekolah lebih tinggi
dari aku. Tapi, aku tak mau menjadi orang pesimistik yang hanya tahu menerima
nasib. Aku memang menerimanya, sungguh, keadaan yang menempatkan aku sebagai
seorang anak dari korban perceraian yang mengharuskan aku untuk tidak tinggal
bersama ayah atau pun ibu kandungku sendiri. melainkan dengan seorang nenek
yang sudah tua dan miskin. Miris, inilah kehidupanku dulu sebenarnya.
Siapa aku? yang
penuh mimpi meraih banyak kesuksesan dengan hanya berlatar belakang lulusan Sekolah
Dasar. Seorang tukang arit alias
tukang nyari rumput yang diupah tidak seberapa. Tapi aku cukup percaya diri,
aku yakin Tuhan punya jalan sendiri untuk meningkatkan taraf kehidupan
hambanya, termasuk aku.
Untunglah aku
tidak terlalu bodoh, aku tidak terlalu miskin agama walau tidak sekolah. Nenek
‘menyekolahkan’ aku disebuah pesantren di daerahku. Dan aku cukup mampu untuk
cepat menyerap ilmu yang diajarkan di sana.
Sampai suatu
hari, ada seorang tamu yang datang ke rumah kiai. Tamu itu sedang mencari
seorang pembantu rumah tangga. Dan aku menawarkan diriku dengan percaya diri.
Tak apa, aku memang laki-laki, dan apa salahnya bagi seorang laki-laki untuk
mengerjakan pekerjaan rumah? Sedih memang, gengsi. Tapi, demi mendapatkan uang
yang lebih banyak dari pada mencari rumput, apa boleh buat. Mungkin inilah
jalan pertamanya.
Sumpah demi
Tuhan, aku benar-benar ingin membahagiakan nenek dan kakekku yang selama ini
menjadi orang tua bagiku. Aku ingin punya banyak uang agar bisa memenuhi segala
kebutuhan dan keinginan mereka. Dan sungguh, aku sangat takut. Takut sekali
jika usahaku terlalu memakan banyak waktu. Jika aku terlalu lama berleha-leha
dengan waktu, aku tidak akan sempat melihat nenek dan kakek tersenyum.
Logikanya, aku masih muda dan umurku masih panjang. Tapi, nenek dan kakek belum
tentu. Bagaimana kalau mereka tidak bisa menunggu lebih lama untuk kesuksesanku?
Bagaimana jika aku gagal membahagiakan mereka? Oh Tuhan, sumpah aku ingin
melihat mereka bahagia. Aku ingin berbakti pada orang yang sudah membesarkan
dan mendidikku. Dan inilah yang menjadi motivasi terbesarku.
Lama kelamaan
aku jenuh dengan pekerjaan itu. Gengsi, malu kalau dilihat orang. Walau
pekerjaan itu halal, tapi aku ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik,
ingin sekali.
Sampai akhirnya
aku berhenti bekerja dan memutuskan mencari pekerjaan lain. Berbagai macam
pekerjaan aku lakukan, sampai berbisnis dengan beberapa teman. Tapi akhirnya
nihil, aku gagal. Belasan bahkan puluhan kali mengalami kegagalan.
Akhirnya, ada
satu pekerjaan yang kemudian aku lakukan. Menjadi guru madrasah. Dengan ilmu
agama yang aku miliki, aku cukup yakin dan mampu mengajar di madrasah. Hanya
saja, gaji sebagai honorer itu terlalu horor bagiku. Standar honorer yang
digaji seratus ribu per bulan. Dan tentu saja gaji itu tidak bisa mencukupi
kebutuhan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pada saat itu,
aku sudah tidak tinggal bersama nenek. Belajar mandiri. Di sanalah, di kamar
kecil yang aku tinggali, tersimpan saksi nyata bahwa pada saat itu aku
benar-benar seorang pemimpi yang nyata. Dan di dalam sana, di dinding-dinding
kamar kecil itu, aku selalu menuliskan segala mimpi dan harapanku.
Aku menulis
banyak hal seperti, aku akan beli motor, penghasilanku bertambah, aku akan
sukses, aku bisa beli ponsel bagus, dan lain-lain. Sebenarnya, coretan-coretan
itu hanya sebagai diary dan sebagai target yang harus bisa aku capai. Sehingga ketika
aku melihat tulisan-tulisan itu, aku menjadi lebih semangat untuk bisa
meraihnya. Walau itu mustahil. Walau banyak orang yang mencemooh semua
mimpi-mimpi itu. Tapi aku tetap yakin, aku bisa.
Tuhan sudah
menciptakan setiap manusia dengan kemampuan yang sama, otak yang sama. Hanya
daya tangkap dan motivasi saja yang membuat kemampuan setiap orangnya terlihat
berbeda. Dan aku yakin, walau aku hanya lulusan SD, aku bisa meraih sukses.
Mungkin inilah awal jalan menuju kesuksesan itu yang penuh dengan kesulitan.
Lama kelamaan
aku merasa frustasi, stress, bingung harus bagaimana. Semua bidang pekerjaan
yang mampu aku lakukan sudah aku lakoni. Dan tidak ada satu pun dari pekerjaan
itu yang mampu memberikan aku kebebasan finansial yang cukup nyata. Aku sudah
bosan bermimpi dan aku sudah tidak sabar melihat mimpi-mimpiku berubah menjadi
nyata.
Sampai suatu
hari ada seorang teman membawa sebuah buku motivasi, dia meminjamkan aku buku
itu dan menyuruhku untuk membacanya. Dan aku pun mengikuti saran sahabatku.
Setelah aku
selesai membaca buku itu, aku sadar, apa sebenarnya yang membuat aku gagal
meraih kesuksesan selama ini. Restu. Aku tidak meminta restu dari bidadari yang
doanya senantiasa selalu didengar Allah, yang doanya akan sangat manjur bila
dia ucapkan. Ibu kandungku.
Aku lupa
padanya, terlanjur lupa karena tidak pernah bertemu. Dan bagaimana aku akan
meminta restu pada orang yang bahkan tidak aku kenali? Yang harusnya bisa aku
cintai dan mencintaiku sepenuh hati. Aku bingung, terlalu bingung untuk bicara
di hadapannya. Mungkin karena di dalam sini, jauh di hati ini, ada setitik
benci yang membuat aku enggan. Tapi, aku kembali sadar. Aku tak akan pernah
bisa hidup tanpa sentuhan tangannya, tanpa pelukannya ketika aku lahir ke dunia.
Dan kebaikannya sungguh lebih dari cukup dengan melahirkan aku ke dunia ini
dengan selamat.
Akhirnya aku
menguatkan tekad. Aku mulai mencari alamatnya, demi memenuhi tuntutanku untuk
meminta ridho dan restu dari dia. Sang bidadari yang Ridho Tuhan itu berada
pada ridhonya. Dan aku berhasil menemukan alamatnya. Langkah selanjutnya yang
harus aku lakukan adalah menemuinya.
Di depan rumah
itu, aku berdiri, mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Seseorang keluar,
menatap asing. Ya, dua orang asing yang bertemu, yang sebenarnya memiliki
keterikatan yang kuat. Aku dan ibu.
Aku
dipersilahkan duduk. Disitulah aku mulai bingung harus bicara apa. Apalagi
tanggapan ibu sungguh jauh di luar perkiraan, dia cukup sinis, menanggapi aku
dengan kata-kata seadanya. Sampai akhirnya, aku mulai dengan tujuan utamaku.
Meminta restunya.
“Ibu, aku minta
maaf bila aku memiliki salah, dan aku.. aku.. mohon ridhomu Bu. Memohon restumu
untuk segala usaha yang aku lakukan.”
Disitulah ia
mulai meneteskan air mata. Ia mengiba. Kami bertangisan dalam haru yang juga
tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dan persoalanku selesai. Segala tetesan air
mata yang jatuh di mata ibu menjadi restu yang mendampingiku. Dan tetesan air
mata itu juga menghapuskan segala kecewa yang tersimpan di hati, segala amarah
dan benci. Air mata itu mengisyaratkan padaku sebuah permintaan maaf sekaligus
sebuah pengampunan maaf.
Berawal dari
sana, Tuhan membukakan segala pintu rezekinya untukku. Tuhan benar-benar
meridhoi jalanku. Dia melapangkan rezeki dan memudahkan setiap jalan yang aku
lewati.
Dan siapa
sangka? Ternyata kehidupanku yang begitu berliku dan penuh dengan kekecewaan, bisa menjadi sumber inspirasi bagi
orang lain. Memberikan motivasi pada banyak orang, terus belajar mengenai
hakikat hidup dan memahaminya. Dan beginilah Tuhan mengangkat derajatku
sekarang. aku menjadi motivator muda di usiaku yang ke 20 tahun. Aku juga
memiliki beberapa perusahaan kecil yang lumayan. Salah satunya adalah
perusahaan es krim. Penghasilanku lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan. Dan
alhamdulillah, aku berhasil membawa nenek dan kakek ke tanah suci. Ingat! Aku
hanya lulusan SD.
4 April 2013
E ZAZI
No comments:
Post a Comment