cerpen terbaru, selamat menikmati ^^
Hujan
mengalir deras, suara angin kencang dan kilatan petir yang menyambar-nyambar
menambah keruh batin Nirwana, ibu berusia 45 tahun. Ia kembali meraih ponselnya,
dan mencoba sekali lagi menghubungi anak gadisnya yang masih belum pulang dari
sekolah. Berharap anaknya memberi tahu keberadaannya sekarang agar hati Nirwana
lebih tenang. Namun, telepon Nirwana lagi-lagi tidak diangkat. Anak gadisnya
yang bernama Khaila, seolah mengacuhkan panggilan darinya.
Ya
Allah... ke mana anak itu pergi? Selamatkanlah dia ya Allah. Batinnya khawatir.
Ia
kembali modar-mandir, resah. Kemudian berjalan menuju jendela, ditatapnya
bingkai jendela sembari menanti kedatangan anaknya. Namun, tak ada tanda-tanda kedatangan
anaknya.
Beberapa
menit berlalu. Terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Nirwana kembali
melongok jendela. Seorang laki-laki memakai mantel membonceng anaknya. Anaknya
basah kuyup kehujanan, masih memakai pakaian SMA. Sudah kuyup pun, anaknya
belum masuk rumah. Ia masih menatap lelaki itu, bersenda gurau, lalu menyalami
laki-laki itu layaknya seorang istri pada suami. Laki-laki itu pun kemudian
turun dari motornya dan mencium kening Khaila.
Nirwana
tersentak. Adegan macam apa ini? pekiknya dalam hati. Dia kah
laki-laki yang sekarang membuat anakku mabuk kepayang? dia kah laki-laki yang
membuat anakku berani membangkang? Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Batinnya
teriris, ibu nirwana lunglai.
Selang
beberapa menit, anaknya masuk.
“Assalamualaikum,”
ucap khaila, gadis berumur 16 tahun yang merupakan anak semata wayang Nirwana.
“Habis
dari mana kamu?” Nirwana geram. Ia menahan amarah. Khaila tak menjawab malah melongos
pergi. Nirwana tidak diam saja. ia menghampiri anaknya. Ia merasa harus memberi
nasehat pada anaknya agar anaknya sadar bahwa perbuatannya salah.
“Ditanya
malah diam saja! Habis dari mana kamu? Pulang sekolah bukannya pulang ke rumah
malah main sama laki-laki!” bentaknya.
Tak
habis di situ, Nirwana mendekat dengan wajah garang. “Terus apa-apaan kamu tadi
di depan rumah? Kayak perempuan yang engga punya adab!!”
Nirwana
benar-benar tidak mampu menahan amarah. Ia kecewa dengan kelakuan anaknya hari
ini. ia marah, ia jengkel. Belum lagi kelakukannya kemarin yang membuatnya
geram. Ditambah pembangkangan Khaila dan kejadian yang baru saja terjadi
membuat ia benar-benar terpukul. Sebagai seorang ibu, ia merasa sangat bertanggung
jawab dan cemas atas perilaku Khaila
sekarang.
Khaila
terdiam. Dia tidak membantah sepatah kata pun. Dalam hati, ia mengakui
kesalahannya. Namun, sikap egonya membuat dia tidak mau berada di posisi salah.
Ia merasa benar, ia merasa bahwa apa yang dilakukannya wajar dilakukan sepasang
kekasih.
“Pulang
sama laki-laki, pake acara ciuman. Kamu itu perempuan! Belum menikah! Tidak
seharusnya melakukan hal seperti itu! dia itu bukan suamimu!”
Khaila
masih terdiam, bukannya merasa bersalah justru malah kesal.
“Pacaran
pake acara begituan. Mau jadi perempuan macam apa kamu? Inget, pacar itu calon mantan! Sekarang ibu
tanya, udah pernah ngapain aja kamu sama dia?!” bentak ibunya lagi.
“Aku
tuh kehujanan mah, masih mending ada yang mau nganterin aku pulang!” bentak Khaila
kemudian. Nirwana tersentak.
“Harusnya
mamah tuh khawatir sama Khai. Ini malah marah-marah!” Cerocos Khaila pelan. “Kalau
mau ngomong engga usah marah-marah! Biasa aja!” tambah anaknya.
Nirwana
semakin geram. “Berani kamu membantah Mamah?! Kamu pikir kelakuan kamu tadi
bagus?”
“Mah,
ini tuh udah 2014. Bukan jaman jadul kayak jaman mamah lagi! di luar sana
banyak yang kelakuannya lebih parah dari Khai, tapi mamahnya engga marah-marah
kayak....”
PLAAKK!!
Sebuah
tamparan melayang ke pipi Khaila. Nirwana tak tahan dengan sikap pembangkang
anaknya. Khaila tersentak, ia menangis tersedu-sedu merasa didzolimi oleh
ibunya sendiri.
***
Seharian
Khaila diam, tidak mau bicara sepatah
katapun pada ibu ataupun ayahnya. Ia sebal dengan sikap ibunya yang dirasanya sudah
sangat kasar.
Nirwana
pun sebenarnya merasa sangat bersalah pada anaknya. Berlaku kasar dengan
menampar anaknya seperti kemarin sore bukanlah gayanya dalam mendidik anak.
Hanya saja saat itu dia terbawa emosi. Makanya seharian ini ia berusaha membaik-baiki
anaknya. Dia menawari makanan yang paling disukai Khaila, mengajak Khaila
jalan-jalan, bahkan mengajak Khaila belanja pun, Khaila tetap menolak. Khaila
bersikukuh dengan rasa marah dan kesal pada ibunya. Sepulang sekolah, Khaila
mengunci diri di kamar.
“Khai,”
panggil ibunya dari balik pintu. “Maaf kan mamah ya, Nak. Mamah sudah bersikap
kasar.” Ucap Nirwana terbata.
“Mamah
mungkin salah dengan bersikap kasar. Tapi, mamah tidak akan bersikap begitu
kalau kamu tidak melakukan hal yang salah. Mamah tahu, ini bukan jaman mamah.
Tapi, Nak, bukan jaman yang memberi kita aturan untuk menjaga harga diri
sebagai perempuan.” Ucapnya berkaca-kaca. Ia berharap anaknya mengerti.
Kemudian
Khaila membuka pintu. Tanpa basa-basi pada ibunya, Khaila tergesa keluar dari
kamar dengan membawa ransel besar di pundaknya.
“Mamah
engga ngerti aku! Khai benci mamah!” Pekik Khaila sesampainya di muka pintu
rumah. Dia pun berlari. Tanpa diduga, di luar sana laki-laki itu sudah
menunggunya.
Nirwana
berlari mengejar. Namun, terlambat. Khaila sudah lebih dulu melaju bersama deru
motor yang semakin menjauh.
Rasa
takut pun menggeliat, merasuk ke dalam hati Ibu Nirwana.
***
Khaila
dulu tidak seperti itu. sebelummya dia adalah anak yang penurut. Tidak pernah
berkata kasar apalagi membangkang. Sejak memasuki SMA, sikapnya perlahan
berubah semenjak mulai memasuki masa puber. Dia seperti menemukan dunianya
sendiri.
Berbeda
dengan dulu, Sekarang mainannya gadget, Facebook dan Twitter sudah menjadi buku
diary-nya, dan ponsel menjadi teman
sejawatnya. Berbeda ketika dia masih memegang BP-BP-an, pasir, atau bermain
tali di depan rumah. Dia masih sangat penurut, mamah dan papah adalah orang
nomor satu yang ia percaya. Tapi, sekarang yang paling ia puja adalah orang
lain yang bahkan belum bisa mengenal dirinya lebih dalam.
Khaila
mungkin telah salah. Tapi, Nirwana tetaplah seorang ibu. Tak ada satu ibu pun
yang akan merelakan anaknya salah jalan.
Sudah
tiga hari berlalu semenjak kepergian Khaila dari rumah. Nirwana sudah hampir kehabisan
cara untuk menemukan di mana Khaila berada. Sampai akhirnya ibu riana
memutuskan untuk menguhubungi polisi.
Selebaran
berisi orang hilang telah disebar. Beberapa ditempel di tiang, di pagar, bahkan
di dinding pertokoan. Hasilnya nihil, Ibu Nirwana kembali harus mengurut dada.
Batinnya
teriris, jutaan kelu menggores relung hatinya. Ia tidak habis pikir, pelajaran
apa yang telah ia berikan pada anaknya sehingga anaknya senekat ini? kesalahan
apa dalam pengajarannya yang telah membuat anaknya berbuat sedemikian berani,
kabur dari rumah dan pergi bersama laki-laki?
Jauh dari dalam hatinya, ia menyesali diri, ia menekuri apa yang telah
terjadi. Sekarang ia hanya bisa berharap semoga tidak ada hal buruk yang
terjadi pada anak semata wayangnya yang sangat ia cintai.
Hampir
sebulan berlalu, tanpa dipinta anaknya tiba-tiba datang sendiri. dia diantar
oleh seorang lelaki paruh baya yang mengaku menemukan Khaila sedang berjalan di
pinggir sungai seperti orang bingung. Khaila tidak membawa apapun, bahkan sebuah
ransel yang dulu digendongnya pergi. Wajahnya pucat, badannya kuyu. Tanpa pikir
panjang, ibunya menangis haru, mendekap anaknya penuh suka cita.
Khaila
pun menangis di bahu ibunya.
“Maafkan
Khaila, Mah. Maafkan Khaila, Khaila salah... Khaila salah...” ucap Khaila
terbata.
Nirwana
lega akhirnya anaknya mengakui kesalahannya. Namun, Batin Nirwana bertanya-tanya,
apa yang sudah terjadi sampai anaknya kabur dan kembali dengan keadaan seperti
ini? Apakah hal buruk menimpa anaknya? Apakah laki-laki itu berbuat hal-hal
yang tidak-tidak pada anaknya?
“Kau
selama ini ke mana, Nak? Mamah mencarimu, Mamah kebingungan mencarimu.” Isak
Nirwana.
Mendengar
hal itu, Khaila semakin merasa bersalah. Ia semakin menyesal dengan keputusannya
saat itu untuk meninggalkan rumah bersama laki-laki yang dicintainya. Ia pergi
meninggalkan keluarga yang begitu mencintainya bersama orang yang bahkan tidak
mengetahui rasa cinta.
Ia
hanya dimanfaatkan. Hanya diberi janji palsu dan sebuah omong kosong mengenai
kesetiaan. Setelah ia memberikan hal
yang sangat ia jaga, kini ia dicampakkan. Dia dibuang layaknya sampah. Dibuang
kepada orang-orang yang tak memiliki hati, dibagi-bagi, dinodai.
Air
mata Khaila semakin deras mengalir. Ia begitu frustasi, mengingat kejadian
kemarin yang telah berlalu. Ia sungguh tidak kuat, batinnya seakan terus memberontak.
Rasa bersalah yang terus melingkupi hatinya membuat ia semakin terluka. Ia
ingin melawan, ia sungguh ingin melawan saat itu. Namun ia tak berdaya. Kini Ia
marah, ia kesal, ia membenci dirinya sendiri. Sekarang hanya tersisa penyesalan
dan rasa sakit di hatinya.
Tiba-tiba
Khaila menjerit-jerit. Ia seperti orang ketakutan layaknya orang dikejar setan.
ia kemudian berteriak, teriakan serupa melolong. Ia meracau. Terus menerus
meminta maaf dan berkata-kata yang tidak jelas. Ia kembali menjerit-jerit.
Tentu saja, hal itu membuat ibunya panik dan takut.
Air
mata Nirwana masih mengalir di pipi. Ia peluk anaknya kuat-kuat walau anaknya
meronta layaknya orang gila.
“Kenapa
Nak? Kamu kenapa? katakan pada ibu!” ucap ibunya sambil mengusap poni dan
mengapus air mata Khaila. Rasa gundah menyelusup ke dalam hati Nirwana, perih. Apa
gerangan yang sudah terjadi?
“Katakan
pada Mamah, Nak. Apa yang sudah terjadi?” Nirwana mencoba menghentikan erangan
Khaila.
“Jangan
takut, sayang. Jangan takut. Ceritakan pada Mamah. tidak akan ada yang tahu.
Dunia pun tidak akan pernah tahu, ini
hanya rahasia kita berdua saja. Jangan takut, Nak. Mamah bersamamu.” Bisik Ibu
Nirwana ke telinga anaknya. Dan perlahan, jerit tangis Khaila pun berhenti.
BIODATA
PENULIS
Nama : Iif Rifda Zazilah
Tempat/tanggal
lahir : Ligung, 12 April 1992
Alamat : Blok Leuwi
Mukti RT 004 RW 005 Desa Ligung Kecamatan Ligung Kabupaten Majalengka 45456
Pekerjaan : Mahasiswa semester 6
jurusan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan Universitas
Majalengka
Hp : 085721974271
Karya yang
pernah dipublikasikan : Perisai Asmara (elex Media, 2012), Lalu Biar Diam
Menjadi Teman (Elex Media, 2013), Bad Romance (Stilettobook, 2013)