Saturday 30 November 2013

Terompet Usang




11 Januari 2010

Duhai bintang gemerlap
Yang Penciptanya tiada pernah terlelap
Aku ingin menitipkan sehelai mimpi pagi
Wahai Sang Pencipta
Asa itu seperti juntai pengikat yang menghubungkan antara aku dan kasih-Mu
Antara mimpiku dan surga-Mu
Ya Tuhanku, bimbing aku menuju apa yang mampu aku capai.

Aku menutup buku. Goresan tinta pada buku ini juga menutup penghujung hari yang melelahkan. Buku yang sekarang aku simpan ini, menjadi pendengar setiaku. Terlebih saat penat mulai merayap, membuatku tak tahan akan kehidupan konstan yang aku jalani hari demi harinya, minggu demi minggu, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahunnya. Hidup terasa berjalan di tempat yang sama.
Kini hari sudah menjelang malam. Kembali pada rutinitas malamku. Menunggu. Selepas isya, adik-adikku pulang dari surau tempat mereka mengaji. Mereka selalu ingin ditunggui di teras rumah. Tak berani. Itulah alasan mereka. Apalagi saat melewati kebun pisang yang jaraknya 10 meter dari rumah. Kesunyian menghadang dibalik daun-daun pisang. Membuat merinding adik-adikku yang baru pulang mengaji dari surau.
Aku termangu, menunggu adik-adikku yang belum tampak batang hidungnya. Mereka akan berlari terbirit saat melewati kebun pisang milik Bapak Haji Sulaeman yang gelap gulita sambil berteriak memanggil namaku saking takutnya.
Konon, di kebun itu sering ada suara-suara aneh yang membuat bulu kuduk merinding. Tapi, untung saja aku tidak pernah mendengar suara-suara itu. Bahkan mungkin saja semua cerita seram itu hanya karangan orang penakut saja. sama seperti  adik-adikku yang mengarang pernah mendengar suara-suara aneh itu saat melewati kebun pisang Haji Sulaeman.
Langit sudah benar-benar gelap. Pukul tujuh lewat. Adzan isya pun sudah menggema dari beberapa menit yang lalu. Anak-anak harusnya sudah keluar dari masjid dan pulang. Sama seperti adik-adikku yang seharusnya sekarang sudah lari terbirit sambil memanggil namaku seperti biasanya. Namun, kali ini berbeda. Mereka belum juga terlihat. Dan ini membuatku kesal. Karena ibu akhirnya menyuruhku segera  menyusul mereka ke surau.
“Cepat Ain, jemput mereka ke surau! Mungkin mereka tak berani pulang atau ada sesuatu yang terjadi. Ibu khawatir.” Titah ibu.
“Mungkin mereka sebentar lagi datang, Bu. Sedang di jalan. Kita tunggu saja sebentar lagi.” Kilahku yang malas menyusul bocah-bocah nakal itu.
“Ini tidak seperti biasanya. Cepat susul mereka!” bentak ibu yang mulai tak sabar. Padahal aku sedang tidak ingin bepergian malam ini.
Ibu menghampiriku, berkacak pinggang sambil memelototiku. Ibu memang tidak marah-marah. Namun membuat aku takut dan tak berani membantah.
Akhirnya aku beranjak, menuruti apa yang ibu perintahkan. Aku segera mengambil kerudung dan senter. Barangkali di jalan terlalu gelap, apalagi di kebun pisang itu. perlahan, aku susuri jalanan. Sambil berharap mereka berdua sedang menuju kemari, sehingga aku tak perlu bersusah payah mencari mereka sampai ke surau. Namun, mereka belum juga terlihat.
Akhirnya aku sampai di surau. Surau sudah sepi. Tak ada anak-anak maupun orang dewasa. Yang tersisa hanya lampu halaman masjid yang sengaja dinyalakan penjaga surau.
“Kak Aina!” pekik seseorang dari kejauhan. Aku menoleh.
“Kakak mencari Fauzan dan Fauzi?” tanya Hasan yang tergopoh sambil mendekat.
“Iya. Kau melihat mereka?”
“Iya. Mereka sedang berkelahi di depan Gang rumah Badru.” Ucap Hasan, anak seumuran adik kembarku.
Aku terkesiap. Segera berlari ditemani Hasan yang berlari di belakangku.
“Masyaallah!” pekikku.
Aku melotot. Kedua adikku benar-benar sedang berkelahi. Aku menarik tangan si kembar. Mencoba menghentikan perkelahian. Keempat anak nakal ini, Kasim, Husni, Fauzan dan Fauzi saling tinju. Tidak tahu sedang memperebutkan apa.
“Dasar nakal! Kenapa berkelahi? Berhenti! Berhenti!” omelku setengah berteriak.
Keempatnya terdiam. Mereka sudah berhenti berkelahi. Namun wajah mereka masih merah padam. Menahan marah sambil melotot ke arah orang yang dianggap lawan.
“Dia yang duluan!” teriak fauzi.
“Tidak! kau yang cari masalah!” bantah Husni.
“Enak saja! kau menuduh kami!” sanggah Fauzan.
“Fauzi memang mencuri! Buktinya ada robot mainanku di saku celananya!” tandas Kasim.
“Kau....”
“Sudah!” potongku cepat. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku mencoba menyelesaikan masalah.
“Dia mencuri mainanku, Kak!” ucap Kasim.
“Tidak! aku tidak mencuri!” sanggah Fauzi.
“Bohong! Buktinya ada di sakumu!” tambah Husni.
“Benar kau mencuri, Fauzi?” aku berkacak pinggang. Geram melihat pertengkaran ini.
“Tidak Kak!”
“Benar!” tuduh Husni.
“Tidak!” bantah Fauzi lagi.
“Aku melihatnya! Fauzi memasukkan mainan Kasim ke saku celananya!” tambah Husni lagi.
Fauzi terdiam sejenak. Wajahnya memerah, tangannya mengepal. Ia kemudian mengambil batu  lalu melemparkannya ke wajah Kasim. Lalu berlari.
“Fauzi!!!” bentakku.
***
Malam itu menjadi malam terpanjang. Fauzi disidang. Ia benar-benar telah melakukan kesalahan fatal. Ia memang mencuri mainan kasim. Ia dan saudaranya juga bolos mengaji, malah ikut bermain di rumah Kasim. Dan parahnya, orang tua Kasim datang ke rumah meminta ganti rugi karena kening Kasim berdarah akibat batu yang dilempar Fauzi.
Tentu ayah dan ibu tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa membela anak bungsunya. Karena memang dia benar-benar bersalah. Ayah akhirnya mengganti rugi. Memberikan uang hasil bekerjanya hari ini untuk berobat Kasim ke dokter. Dan lenyaplah sudah uang yang seharusnya digunakan untuk membayar uang praktik sekolahku. Aku bahkan ikut kecepretan dimarahi ibu.
“Kalau saja kamu cepat menjemput mereka ke surau, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi.” Omel ibu padaku.
Lalu, apa yang dikatakan Fauzi dengan santainya?  “Aku geram melihat Kasim terus-terusan memamerkan mainannya. Sombong karena punya mainan bagus. Sebal melihat tingkahnya yang seperti meremehkanku.” Ucap Fauzi tanpa rasa bersalah.
Hanya karena hal itu ia melakukan hal ini? dan inilah yang terkadang membuat aku benci punya adik. Mereka pembawa masalah. Dua adik kembar nakal yang melengkapi penderitaanku. Walau aku tahu bahwa kedua adikku pun sebenarnya menderita.
Mereka berdua harus gigit jari saat melihat teman-teman mereka membeli mainan yang bagus, makanan enak, baju bagus, dan kendaraan yang bagus milik orang lain. Ibuku hanya seorang pedagang bubur, dan ayahku bekerja serabutan. Kadang menjadi kuli, kadang jadi tukang bersih-bersih, kadang malah nganggur. Suatu hal yang luar biasa bagi orang tuaku sampai bisa menyekolahkanku sampai SMA dengan penghasilan pas-pasan.
Tapi, aku terkadang tidak sabar. Marah dengan keadaan ini. Iri pada yang lain. aku kadang merasa tidak PD dengan keadaanku sekarang. keadaan ekonomi keluarga yang mencekik. Kedua adikku yang nakal yang menjadi tanggung jawabku selama ibu dan ayah bekerja. Menjadi kakak itu sulit. Dan menjadi orang miskin pun lebih sulit lagi.
Harusnya remaja sepertiku mengurusi urusan cinta. Kasmaran seperti yang lain. Tapi tidak. Aku tidak punya waktu untuk mengurusi semua itu. Pekerjaanku sudah cukup menyita waktu. Beres-beres, mengurusi adik yang baru kelas dua SD yang kadang masih merengek minta jajan. Kadang, aku pun harus cari uang jajan sendiri dengan menjual aksesoris buatan tangan.
Dan cita-cita tertinggiku adalah menjadi orang kaya. Memiliki banyak uang agar tidak ada lagi orang yang menghinaku, menghina keluargaku, menyepelekanku. Namun harapan itu perlahan luntur. Aku mulai mengubur jauh mimpi itu. Semua mimpi itu terasa terlalu jauh untuk direngkuh.
Tahun lalu, saat terompet tahun baru dibunyikan tengah malam. Aku berharap kehidupanku berangsur berubah. Aku berharap orang tuaku mendapatkan pekerjaan yang lanyak. Aku berharap tidak begini-begini saja. aku berharap ada setitik perubahan yang membuat aku lebih bisa berbangga diri.
Namun, beberapa hari bahkan beberapa minggu dari itu, hidup kami tetap seperti ini. Ayah masih seorang buruh dengan gaji rendah. Ibu juga tetap menjadi tukang bubur dengan penghasilan tidak tetap. Jadi, apa lagi yang bisa aku harapkan pada tahun ini? Tak ada. Semua harapanku lenyap. Aku hanya tinggal menunggu nasib saja.
***
“Ain.” Sapa Eziro. Kali ini motornya berwarna merah tua. Motor ninja yang kabarnya hadiah ulang tahun dari ayahnya.
“Kau mau ikut?” ajaknya.
Aku tersenyum sembari menggeleng. “Tidak, Zi. Terima kasih.”
“Padahal ini sudah siang loh! Nanti kau terlambat!” ucapnya lagi.
“Tidak. terima kasih.” Aku berlalu dengan senyum yang dipaksakan.
Helm hitamnya kembali ditutup, kemudian memencet klakson, dan berlalu dengan cepatnya.
Aku berhenti sejenak. Menghela nafas dan kembali mengambil langkah.
Eziro. Laki-laki yang dulu sempat aku suka. Dia laki-laki terbaik yang pernah aku kenal. Dia juga tidak sombong. Dia sangat ramah. Dan itulah hal mendasar yang membuat aku menyukainya.
Kami pernah sekelas. Kami juga pernah sangat dekat. Sebelum aku bisa dekat dengannya, aku pernah menguntit dia kemana pun. Menghadiri perlombaan basketnya, mengikuti latihan sepak bolanya bersama kedua adikku, dan aku juga sempat memberikan bubur buatan ibu untuknya yang akhirnya ditertawakan teman-temannya. Tapi, dia tetap memakannya. Dia malah menghabiskannya dan berkata ‘Enak. Terima kasih.’ Sambil tersenyum.
Sejak saat itu kami dekat. Namun, bukan berarti kami pacaran. Hanya teman dekat, itu saja. dan itu sudah cukup.
Namun, semenjak banyak teman-temannya yang mendiskriminasiku karena tidak menyukaiku, maka aku mundur. Aku berusaha menjauh dari Eziro. Dan walau sudah menjauh, tetap saja siswi yang menyukai Eziro mendiskriminasiku.
Padahal, apa salahnya kalau aku jatuh cinta? Cinta itu kan tidak terpaku pada apakah dia miskin atau kaya. Cinta, ya cinta saja. Memang kenapa? Ini zaman modern, kan? Tapi, ternyata tidak seperti itu. Walau pada kenyataannya cintaku ini Luar biasa untuknya, tapi diriku tidak cukup ‘luar biasa’ untuk bersamanya. Dan banyak orang menganggapku tidak pantas.
***
27 Desember 2010
“Ain, kemari sebentar!” panggil Ayah. Aku terhunyung dari kamar menuju ruang tamu.
Di ruang tamu sudah berserakan plastik warna-warni, kertas karton besar, gunting dan juga lem. Fauzan dan fauzi terlihat sangat antusias. Mereka sudah terlihat sibuk sendiri dengan gunting dan plastik.
“Ayah mau buat apa?” tanyaku polos.
“Sebentar lagi tahun baru, kan? Yuk kita buat terompet murah untuk dijual. Lumayan kan buat tahun baru nanti?”
Aku mengangguk lalu terduduk di sisi lain dan terdiam cukup lama. Namun aku buru-buru sadar. Aku tahu bahwa aku dipanggil ke ruangan ini bukan untuk melamun. Akhirnya aku mengambil kertas dan gunting yang ada di hadapanku. Jujur, aku tidak terlalu antusias dengan ide ini.
Ayah mungkin melihat wajahku yang lesu dan tak bersemangat.
“Ain, kamu sakit?” tanya ayah.
Aku menggeleng.
“Lalu, kenapa?”
“Tidak apa-apa, Yah.”
“Jangan bohong. Ayah kenal anak-anak ayah.” Ucapnya lagi.
Aku terdiam sejenak. “Ayah, bisakah tahun ini kita lebih baik dari tahun sebelumnya?”
“Memang kenapa?” tanya ayah bingung.
“Tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, aku sering berharap bahwa tahun berikutnya kehidupan kita akan semakin meningkat. Berharap ayah punya pekerjaan tetap, Berharap ibu punya warung sendiri agar tidak usah keliling jualan bubur, berharap Fauzan dan Fauzi cepat mandiri. Tapi, selalu dan selalu harapanku tidak pernah terkabul tahun demi tahunnya.”
Kini ayah yang terdiam. Kami sama-sama terdiam. Fauzan dan Fauzi yang dari tadi berisik pun akhirnya terdiam. Mereka mendengar nama mereka disebut. Dan mereka sadar kami dalam pembicaraan yang serius.
“Aku berharap kita punya rumah sendiri, tidak ngontrak. Berharap punya motor, berharap punya uang banyak biar kalau bayaran sekolah tidak perlu pusing lagi. Berharap seperti sisiwi lain yang bisa membawa ponsel bagus ke sekolah, sepatunya bagus, tasnya bagus. Aku ingin seperti mereka, Yah.” Aku terisak.
Aku tahu ini ucapan bodoh yang keluar dari seorang anak yang tidak punya pikiran. Aku tahu, aku pasti melukai hati ayah atau ibu yang mungkin mendengar ucapanku dari bilik dapur sana. Aku pun sudah siap jika dimarahi.
“Sabar ya, Nak.” Ayah kembali terdiam lalu mengambil nafas. “Tidak ada orang tua yang ingin melihat anaknya kesusahan. Tidak ada juga orang tua yang ingin melihat anaknya menderita. Dan itulah mengapa sampai sekarang ayah terus bekerja untuk kalian, untuk membahagiakan kalian.”
Ayah terdiam lagi.
“Sekarang kita memang tidak punya. Kita miskin. Tapi bukan berarti kita tidak bisa bahagia seperti orang lain.” Tambah ayah.
“Dan ayah sangat bahagia memiliki kamu dan adik-adikmu juga ibumu yang selalu sabar. Dan kalianlah yang membuat ayah semangat untuk bekerja.” Ayah terdiam sejenak. Lalu melanjutkan kata-katanya.
 “Sebagai anak sulung dan anak yang sudah dewasa, kamu pasti mengerti maksud ayah. Ayah mengerti perasaanmu. Kau mungkin bosan dan jenuh dengan keadaan kita.”
Aku tertunduk mendengarkan kata-kata ayah. Tetesan air mata mengalir deras di pipi.
“Tapi, kamu tidak boleh putus asa. Harapan yang kita inginkan bukan berarti tidak mungkin terwujud. Hanya saja belum tercapai. Karena sesuatu yang kita atau orang lain anggap tidak mungkin terjadi, bukan berarti tidak akan terjadi. Itulah mengapa ayah menyekolahkanmu dengan harapan kau akan memiliki kehidupan yang lebih baik dari ayah dan ibu.”
Aku semakin terisak. Ibu mendekat dan merangkulku.
***
Pagi ini, ayah berangkat menuju pasar. Mencoba menjajakan terompet buatan kami semalam. Dia begitu bersemangat dan berharap semua terompet kami terjual. Ayah tidak pernah pesimis, sekalipun upah kerja yang didapatnya kecil. ia memiliki tekad baja, dan aku iri. Aku pun ingin memiliki tekadnya.
“Ain, Ain!!!!” teriak Salma.
Aku menoleh malas.
“Kau sudah lihat apan pengumuman?” Tanya Salma.
Aku menggeleng. Mencoba bersikap tenang menghadapi Salma yang tidak bias diam.
“Kau dapat beasiswa Ain, beasiswa!!” pekiknya lagi. Aku terkaget. “Kau diminta ke ruang guru sekarang!”
Aku berjalan setengah berlari. Sedang dan bangga bias mendapatkan beasiswa. Aku dapat beasiswa ayah, aku dapat beasiswa, batinku.
Namun sesampainya di ruang guru, aku mendapati wajah mereka tampak sayu. Memucat. mereka memandangiku iba. Aku tak mengerti dan juga tak peduli. Yang terpenting, kabar gembira ini membuatklu bahagia. Namun yang aneh, kenapa ada Mang Janu di sana. Tengah berdiri bersopan santun dengan wajah pucat pula.
“Ain,” ucap seorang guru pelan, ketika aku menghampiri mereka.
 “Kamu disuruh pulang. Ayahmu kecelakaan.”
Aku terbelalak. Tak ada waktu untuk terkaget-kaget. Bahkan tak ada waktu untuk kembali ke kelas dan meraih tas. Aku pulang dengan tergesa tanpa peduli teriakan yang memanggil-manggil namaku.
Jasad yang tertutup kain putih terbaring di tengah-tengah manusia yang berjejal di rumah kontrakan sempit kami. Tubuh terbujur kaku yang menyemangatiku semalam. Kini dia menutup mata selamanya, setelah sebelumnya tertabrak motor ninja merah tua pagi tadi.

Aku Lulusan Sekolah Dasar



Aku meraih beberapa oleh-oleh yang khusus aku pilih untuk nenek dan kakek di kampung. Perjalanan kali ini cukup jauh dan memakan banyak waktu. Tak apa, ini memang yang sejak dulu aku impikan, yang bahkan tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Bekerja dalam sebuah kebebasan, yang membuatku terbebas dari kebutuhan finansial.
Aku hanya seorang tamatan SD yang bahkan secara logika tidak memiliki harapan untuk sukses. Jika ada pun, aku harus bisa bersaing dengan jutaan bahkan puluhan juta orang lainnya yang bergelar sarjana atu setidaknya lulusan sekolah lebih tinggi dari aku. Tapi, aku tak mau menjadi orang pesimistik yang hanya tahu menerima nasib. Aku memang menerimanya, sungguh, keadaan yang menempatkan aku sebagai seorang anak dari korban perceraian yang mengharuskan aku untuk tidak tinggal bersama ayah atau pun ibu kandungku sendiri. melainkan dengan seorang nenek yang sudah tua dan miskin. Miris, inilah kehidupanku dulu sebenarnya.
Siapa aku? yang penuh mimpi meraih banyak kesuksesan dengan hanya berlatar belakang lulusan Sekolah Dasar. Seorang tukang arit alias tukang nyari rumput yang diupah tidak seberapa. Tapi aku cukup percaya diri, aku yakin Tuhan punya jalan sendiri untuk meningkatkan taraf kehidupan hambanya, termasuk aku.
Untunglah aku tidak terlalu bodoh, aku tidak terlalu miskin agama walau tidak sekolah. Nenek ‘menyekolahkan’ aku disebuah pesantren di daerahku. Dan aku cukup mampu untuk cepat menyerap ilmu yang diajarkan di sana.
Sampai suatu hari, ada seorang tamu yang datang ke rumah kiai. Tamu itu sedang mencari seorang pembantu rumah tangga. Dan aku menawarkan diriku dengan percaya diri. Tak apa, aku memang laki-laki, dan apa salahnya bagi seorang laki-laki untuk mengerjakan pekerjaan rumah? Sedih memang, gengsi. Tapi, demi mendapatkan uang yang lebih banyak dari pada mencari rumput, apa boleh buat. Mungkin inilah jalan pertamanya.
Sumpah demi Tuhan, aku benar-benar ingin membahagiakan nenek dan kakekku yang selama ini menjadi orang tua bagiku. Aku ingin punya banyak uang agar bisa memenuhi segala kebutuhan dan keinginan mereka. Dan sungguh, aku sangat takut. Takut sekali jika usahaku terlalu memakan banyak waktu. Jika aku terlalu lama berleha-leha dengan waktu, aku tidak akan sempat melihat nenek dan kakek tersenyum. Logikanya, aku masih muda dan umurku masih panjang. Tapi, nenek dan kakek belum tentu. Bagaimana kalau mereka tidak bisa menunggu lebih lama untuk kesuksesanku? Bagaimana jika aku gagal membahagiakan mereka? Oh Tuhan, sumpah aku ingin melihat mereka bahagia. Aku ingin berbakti pada orang yang sudah membesarkan dan mendidikku. Dan inilah yang menjadi motivasi terbesarku.
Lama kelamaan aku jenuh dengan pekerjaan itu. Gengsi, malu kalau dilihat orang. Walau pekerjaan itu halal, tapi aku ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, ingin sekali.
Sampai akhirnya aku berhenti bekerja dan memutuskan mencari pekerjaan lain. Berbagai macam pekerjaan aku lakukan, sampai berbisnis dengan beberapa teman. Tapi akhirnya nihil, aku gagal. Belasan bahkan puluhan kali mengalami kegagalan.
Akhirnya, ada satu pekerjaan yang kemudian aku lakukan. Menjadi guru madrasah. Dengan ilmu agama yang aku miliki, aku cukup yakin dan mampu mengajar di madrasah. Hanya saja, gaji sebagai honorer itu terlalu horor bagiku. Standar honorer yang digaji seratus ribu per bulan. Dan tentu saja gaji itu tidak bisa mencukupi kebutuhan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pada saat itu, aku sudah tidak tinggal bersama nenek. Belajar mandiri. Di sanalah, di kamar kecil yang aku tinggali, tersimpan saksi nyata bahwa pada saat itu aku benar-benar seorang pemimpi yang nyata. Dan di dalam sana, di dinding-dinding kamar kecil itu, aku selalu menuliskan segala mimpi dan harapanku.
Aku menulis banyak hal seperti, aku akan beli motor, penghasilanku bertambah, aku akan sukses, aku bisa beli ponsel bagus, dan lain-lain. Sebenarnya, coretan-coretan itu hanya sebagai diary dan sebagai target yang harus bisa aku capai. Sehingga ketika aku melihat tulisan-tulisan itu, aku menjadi lebih semangat untuk bisa meraihnya. Walau itu mustahil. Walau banyak orang yang mencemooh semua mimpi-mimpi itu. Tapi aku tetap yakin, aku bisa.
Tuhan sudah menciptakan setiap manusia dengan kemampuan yang sama, otak yang sama. Hanya daya tangkap dan motivasi saja yang membuat kemampuan setiap orangnya terlihat berbeda. Dan aku yakin, walau aku hanya lulusan SD, aku bisa meraih sukses. Mungkin inilah awal jalan menuju kesuksesan itu yang penuh dengan kesulitan.
Lama kelamaan aku merasa frustasi, stress, bingung harus bagaimana. Semua bidang pekerjaan yang mampu aku lakukan sudah aku lakoni. Dan tidak ada satu pun dari pekerjaan itu yang mampu memberikan aku kebebasan finansial yang cukup nyata. Aku sudah bosan bermimpi dan aku sudah tidak sabar melihat mimpi-mimpiku berubah menjadi nyata.
Sampai suatu hari ada seorang teman membawa sebuah buku motivasi, dia meminjamkan aku buku itu dan menyuruhku untuk membacanya. Dan aku pun mengikuti saran sahabatku.
Setelah aku selesai membaca buku itu, aku sadar, apa sebenarnya yang membuat aku gagal meraih kesuksesan selama ini. Restu. Aku tidak meminta restu dari bidadari yang doanya senantiasa selalu didengar Allah, yang doanya akan sangat manjur bila dia ucapkan. Ibu kandungku.
Aku lupa padanya, terlanjur lupa karena tidak pernah bertemu. Dan bagaimana aku akan meminta restu pada orang yang bahkan tidak aku kenali? Yang harusnya bisa aku cintai dan mencintaiku sepenuh hati. Aku bingung, terlalu bingung untuk bicara di hadapannya. Mungkin karena di dalam sini, jauh di hati ini, ada setitik benci yang membuat aku enggan. Tapi, aku kembali sadar. Aku tak akan pernah bisa hidup tanpa sentuhan tangannya, tanpa pelukannya ketika aku lahir ke dunia. Dan kebaikannya sungguh lebih dari cukup dengan melahirkan aku ke dunia ini dengan selamat.
Akhirnya aku menguatkan tekad. Aku mulai mencari alamatnya, demi memenuhi tuntutanku untuk meminta ridho dan restu dari dia. Sang bidadari yang Ridho Tuhan itu berada pada ridhonya. Dan aku berhasil menemukan alamatnya. Langkah selanjutnya yang harus aku lakukan adalah menemuinya.
Di depan rumah itu, aku berdiri, mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Seseorang keluar, menatap asing. Ya, dua orang asing yang bertemu, yang sebenarnya memiliki keterikatan yang kuat. Aku dan ibu.
Aku dipersilahkan duduk. Disitulah aku mulai bingung harus bicara apa. Apalagi tanggapan ibu sungguh jauh di luar perkiraan, dia cukup sinis, menanggapi aku dengan kata-kata seadanya. Sampai akhirnya, aku mulai dengan tujuan utamaku. Meminta restunya.
“Ibu, aku minta maaf bila aku memiliki salah, dan aku.. aku.. mohon ridhomu Bu. Memohon restumu untuk segala usaha yang aku lakukan.”
Disitulah ia mulai meneteskan air mata. Ia mengiba. Kami bertangisan dalam haru yang juga tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dan persoalanku selesai. Segala tetesan air mata yang jatuh di mata ibu menjadi restu yang mendampingiku. Dan tetesan air mata itu juga menghapuskan segala kecewa yang tersimpan di hati, segala amarah dan benci. Air mata itu mengisyaratkan padaku sebuah permintaan maaf sekaligus sebuah pengampunan maaf.
Berawal dari sana, Tuhan membukakan segala pintu rezekinya untukku. Tuhan benar-benar meridhoi jalanku. Dia melapangkan rezeki dan memudahkan setiap jalan yang aku lewati.
Dan siapa sangka? Ternyata kehidupanku yang begitu berliku dan penuh dengan  kekecewaan, bisa menjadi sumber inspirasi bagi orang lain. Memberikan motivasi pada banyak orang, terus belajar mengenai hakikat hidup dan memahaminya. Dan beginilah Tuhan mengangkat derajatku sekarang. aku menjadi motivator muda di usiaku yang ke 20 tahun. Aku juga memiliki beberapa perusahaan kecil yang lumayan. Salah satunya adalah perusahaan es krim. Penghasilanku lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan. Dan alhamdulillah, aku berhasil membawa nenek dan kakek ke tanah suci. Ingat! Aku hanya lulusan SD.

4 April 2013
E ZAZI